Coba kamu
pake jilbab lebar dulu, biar dia respect. Rasanya amarah memenuhi diri saat membaca
pesan singkat dari mus teman tempat biasa aku berkeluh kesah tentang seseorang,
usai aku bercerita tentang kisahku via telepon beberapa menit yang lalu.Jilbab
lebar?! Balasku tanpa ada kata yang lain. Iya, pake
jilbab-baju lebar seperti para akhwat. Pake jilbab lebar sederhana dan ga’
dimodifikasi. Dan ga’ pake celana panjang lagi.
Aku terdiam memberi jeda untuk hati dan otak mengolah kata 'Akhwat', sebutan para perempuan dengan jilbab lebar-panjang. Jilbabku tentu jauh dari identifikasi mereka. Jilbabku terlalu flamboyan, terlalu urbanis, dan casual serta pernik-manik modifikasi jilbab yang terkesan 'ekspresif'.
Ungkapannya
'seperti akhwat' menjurus bahwa aku harus memperbaiki cara berpakaian sebagai
muslimah,. Tapi yang membuatku tersinggung adalah kalimat biar dia
respect. Seolah untuk berpakaian syar’i haruslah karena makhluk yang
bernama “pria”. Hal ini yang membuatku tidak sependapat.
Kemudian...
Aku ga’
janji bisa melakukannya, aku ga’ mau alasan dibalik itu cuma untuk menarik
simpati dia. Menurutku alasan yang baik adalah karena Allah semata. Tak ada jawaban.
Aku
tercenung dengan kata gaya dan syar'i. Hingga pikiranku melayang terlampau jauh
dari biasanya, Apakah jilbabku sesuai kriteria syar'i atau tidak? Aku telah
menemukan jawabannya, namun penyangkalan selalu ada dalam hati kecilku. Pendek
kata, saat muslim memahami jilbab sebagai kewajiban, belum tentu mereka sepaham
dengan cara berjilbab syar'i yang sama.
Cara
berjilbab yang syar'i masih diperdebatkan. Sangat klasik! Para ulama fiqih dan
tafsir satu sama lain berbeda pendapat mengenai jilbab syar'i. Ada
yang berpendapat bahwa jilbab syar'i itu mengulurkan kain ke
seluruh tubuh dan yang terlihat hanya tangan dan wajah. Ada juga yang
memfatwakan bahwa jilbab-hijab harus terulur ke seluruh tubuh kecuali mata. Ada
pendapat yang lebih longgar bahwa jilbab boleh terulur hanya menutupi rambut.
Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa jilbab hanyalah produk
budaya-tradisi, dan menggunakan baju yang sopan tanpa jilbab pun sudah termasuk
syar'i.
Terlepas
dari persoalan perdebatan cara berjilbab, teringat bagaimana saat aku pertama
kali berjilbab. Betapa beratnya sebuah keputusan berjilbab, bahkan memulai dan
menjalani serta beradaptasi dengan jilbab tidaklah remeh bagi setiap muslimah.
Itu sebabnya aku kurang simpatik pada kaum Adam yang membicarakan tentang
keharusan berjilbab dan tampil secara elegan. Mereka hanya inginkan
indah yang mereka pandang. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi
perempuan dan jilbabnya.
Kisahku
berjilbab sejak awal juga saaat ini adalah karunia; Sejak kecil aku terbiasa
mengenakan jilbab. Tujuh tahun lamanya jilbab segiempat warna-warni menjadi
perhiasan utamaku. Tiba saat aku menginjak masa-masa remaja aku melepas
jilbabku. Terbawa arus dan perubahan iklim pendidikan yang membuatku begitu.
Melepas jilbab bukan hal yang tabu saat itu, dan kedua orang tuaku tidak
berkomentar apa-apa. Dimana lingkunganku berada saat SMP adalah sekolah negeri
yang tidak mewajibkan siswanya berjilbab. Jadi aku bebas berekspresi dengan
rambutku yang tujuh tahun lamanya tidak tertimpa cahaya matahari.
Lebih
dari eman tahun kulalui tanpa menghias kepalaku dengan jilbab. Kerudung
sesekali kupakai hanya jika ada kegiatan keagamaan yang mewajibkan berpakaian
ala muslimah.
Seorang
'aku dengan jilbabku' di hari ini pun tidak terlepas dari proses pendewasaan
lahir dan batin yang pastinya tidak instan. Ku lewati banyak fase untuk bisa
memutuskan berjilbab dengan modis (atau apalah namanya), meliputi fase
mengkaji, memahami dan mengolah semua teks-teks yang berhubungan dengan jilbab.
Jadi, aku enggan disebut sebagai muslimah yang disebut jilbab 'mode' (baca:
ikut-ikutan).
Aku
kembali menggunakan jilbab sebagai perhiasan jauh setelah aku beranjak dewasa.
Gaya jilbab yang aku gunakan sekarang ini, tidaklah lepas dari paradigma
berislam menurutku pribadi. Jika beberapa orang menganggap bahwa jilbabku tidak
syar'i, ya itu hak mereka untuk meyatakan pendapat tapi tidak untuk
justifikasi. Memutar kembali memoriku tentang aku dan jilbabku sangatlah mudah.
Tapi kesudahannya yang membuatku gundah. Akhirnya aku pun terlelap dalam
tidurku.
Keesokan
paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, sudah rutinitasku terjaga untuk
mendengarkan lantunan merdu suara adzan. Kulihat handphoneku,
ternyata ada satu pesan masuk yang belum kubaca. Iya, saya tahu semua
harus karena Allah. Tapi apakah untuk berpakaian syar’i harus ditunda-tunda.
Dicoba aja dulu, pasti nyaman nantinya. Tak langsung kujawab pesan
itu, karena adzan subuh sudah berkumandang. Segera aku bangkit dari tempat
tidur dan menuju bagian belakang rumah untuk membasuh wajahku dengan air wudhu.
Berharap aku bisa tenang dari semua beban pikiran semalam.
Usai
solat subuh, kuketikkan pesan balasan. Aku tahu tapi aku butuh waktu.
Yang aku mau cuma membersihkan niatku dari hal lain selain Nya. Doakan aja ya. Aku
tersenyum dan puas dengan hasil pemikiranku. Iya. Amiin.Balasan
yang kuterima.
Hingga
beberapa bulan kemudian aku masih memikirkan kata-kata mus dalam pesan
singkatnya. Bahkan tak pernah kuhapus pesan itu dari kotak masuk handphone ku.
Tiap kali aku menemukan bahasan tentang jilbab-hijab, kembali kubuka pesan itu.
Aku
merasa paradigma yang kutanam tentang jilbab syar’i selama ini salah. Tapi aku
juga tidak mau mus berpikiran bahwa aku berubah hanya karena makhluk bernama
“pria”. Aku hanya ingin menjauhkan niatku dari hal-hal diluar Allah. Hingga aku
sampai pada titik paling ragu saat itu. Aku pun menghubungi Agustin yang kurasa
cukup mampu menjawab kegalauanku. Agustin, gadis berpakaian longgar dan
berjilbab lebar. Ini menemukaan pilihannya berbusana juga mengalami perdebatan
panjang dengan hati pastinya. Bukan hanya hati, lingkungan pun memiliki caranya
sendiri untuk berdebat. Kukirimkan pesan singkat padanya. Aku bingung.
Aku pengen berpakaian syar’i. Tapi aku takut dibilang jadi jilbaber cuma karena
ikhwan. Menurutmu gimana? Lama kutunggu tak ada balasan. Aku
memutuskan untuk menulis kisahku. Aku memang terbiasa menumpahkan segala rasaku
lewat bait-bait puisi ataupun narasi-narasi pendek.
Hampir
dua jam aku bernarasi, handphone ku berbunyi. Balasan yang
sangat singkat. Melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu karena selain
Allah dua-duanya termasuk riya’. Singkat memang. Tapi aku terpana
membacanya. Jawaban sepeti inilah yang aku inginkan. Tapi aku belum siap
menerima jawaban ini.
Kenapa?
Karena setiap muslimah seperti apapun caranya berjilbab adalah proses untuk
mencapai pengetahuan spritual masing-masing. Sifatnya tentu saja sangat
subjektif. Dan yang tahu hanya dirinya sendiri dan Allah Maha cinta.
Jika ada
seseorang mengklaim bahwa aku termasuk orang yang telah mengetahui
tentang berjilbab syar'i, namun menurutnya jilbabku tidak syar'i, maka aku akan bilang bahwa ada perspektif lain mengenai berjilbab syar'i. Ya, persprektif lain yang masih pandangan ulama kontemporer dan kontekstual.
tentang berjilbab syar'i, namun menurutnya jilbabku tidak syar'i, maka aku akan bilang bahwa ada perspektif lain mengenai berjilbab syar'i. Ya, persprektif lain yang masih pandangan ulama kontemporer dan kontekstual.
Hello,
buka mata karena ada banyak perspektif ulama yang memfatwakan jilbab syar'i
berbeda dengan paham ulama yang kamu anut.
Bagi saya
jilbab adalah bagian dari ekspresi diri yang meliputi keasyikan tersendiri
dengan Allah. Itu artinya bila dalam personalitas baik memiliki kebersihan
hati, kemuliaan akhlak dan potensi yang keren tentu dia akan terpancar pada
keanggunan mereka. Mereka berakhlak dan berpikir terlepas seperti apa dia
menggunakan berjilbab. Masih itu pendapatku dalam perdebatan hatiku.
Aku terus
mencari pembenaran dari perspektif yang kulihat. Tapi semakin banyak aku
mencari semakin sedikit pembenaran-pembenaran yang kutemukan. Hingga pada
sebuah acara, aku bertemu dengan teman satu kelompok mengajiku. ”Kamu
masih pake celana ya? Saya kira ga.” Tertegun aku dan kujawab sambil
tersenyum. “Iya, aku mah suka-suka aja. Kalo pengen pake celana ya pake
celana. Kalo pengen pake rok ya pake rok.”.Jawaban sembrono yang justru
membuatku semakin terpojok dalam pikiranku sendiri.
Suka-suka. Apakah agama hanya kujadikan
ajang suka-suka, sedang aku terus mengaji dan mengkaji islam secara lebih
dalam. Hanya seginikah pemahamanku tentang berpakaian syar’i. Acara berlalu
tanpa aku menikmatinya. Aku seperti terasing dalam pikiranku sendiri.
Pandangan
ulama yang mana yang aku jadikan pembenaran? Sedang di dalam semua jurnal
terbaru, dalam Al-Qur’an serta dalam riwayat semua sahabat tidak ada yang
membenarkan pemikiranku. Aku hanya mencari-cari pembenaran tentang egoku
sendiri. Aku hanya sombong tentang pendapatku sendiri. Beginikah cara berpikir
seorang sarjana yang kerap ikut serta dalam pengajian rutin. Bukan. Ini adalah
pola pikir orang awam yang belum mengenal islam. Ya, aku sedang memuaskan
egoku.
Sesampainya
di rumah tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba adik lelakiku memberondong dengan
penyataan. “Mb, kamu ga’ usah pake’ celana-celana lagi si. Risih aku
liatnya, pake jilbab kok kayak gitu.” Lagi-lagi aku terdiam.
Sebenarnya aku bersyukur sangat banyak orang yang memperdulikan aku untuk menjadi
yang lebih baik. Untuk berpakaian syar’i. Humar berlalu sambil menyerahkan kain
hitam yang dibungkus plastik transparan. Kubuka plastik itu dikamarku. Subhanallah. Rok
hitam polos tanpa motif dengan rampel dalam isinya. Sejak hari itu kuputuskan
akan kuganti semua celanaku dengaan rok ataupun terusan panjang. Akupun
menemukan hakikat berjilbab yang sebenarnya. Akupun menemukan jati diriku
sebagai seorang muslimah. Ya, muslimah yang selalu berproses untuk menjadi yang
lebih baik lagi.
Semua
orang memang harus tahu bagaimana perempuan dan jilbabnya. Bagaimana polemik
yang terjadi dalam diri perempuan tentang jilbabnya. Karena ini aku. Ini
kisahku.
10
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar