Senin, 10 Desember 2012

Aku, gaya, syar’i, dan hati


Coba kamu pake jilbab lebar dulu, biar dia respect. Rasanya amarah memenuhi diri saat membaca pesan singkat dari mus teman tempat biasa aku berkeluh kesah tentang seseorang, usai aku bercerita tentang kisahku via telepon beberapa menit yang lalu.Jilbab lebar?! Balasku tanpa ada kata yang lain. Iya, pake jilbab-baju lebar seperti para akhwat. Pake jilbab lebar sederhana dan ga’ dimodifikasi. Dan ga’ pake celana panjang lagi.

Aku terdiam memberi jeda untuk hati dan otak mengolah kata 'Akhwat', sebutan para perempuan dengan jilbab lebar-panjang. Jilbabku tentu jauh dari identifikasi mereka. Jilbabku terlalu flamboyan, terlalu urbanis, dan casual serta pernik-manik modifikasi jilbab yang terkesan 'ekspresif'.

Ungkapannya 'seperti akhwat' menjurus bahwa aku harus memperbaiki cara berpakaian sebagai muslimah,. Tapi yang membuatku tersinggung adalah kalimat biar dia respect. Seolah untuk berpakaian syar’i haruslah karena makhluk yang bernama “pria”. Hal ini yang membuatku tidak sependapat.

Kemudian...

Aku ga’ janji bisa melakukannya, aku ga’ mau alasan dibalik itu cuma untuk menarik simpati dia. Menurutku alasan yang baik adalah karena Allah semata. Tak ada jawaban.

Aku tercenung dengan kata gaya dan syar'i. Hingga pikiranku melayang terlampau jauh dari biasanya, Apakah jilbabku sesuai kriteria syar'i atau tidak? Aku telah menemukan jawabannya, namun penyangkalan selalu ada dalam hati kecilku. Pendek kata, saat muslim memahami jilbab sebagai kewajiban, belum tentu mereka sepaham dengan cara berjilbab syar'i yang sama.

Cara berjilbab yang syar'i masih diperdebatkan. Sangat klasik! Para ulama fiqih dan tafsir  satu sama lain berbeda pendapat  mengenai jilbab syar'i. Ada yang berpendapat  bahwa  jilbab syar'i itu mengulurkan kain ke seluruh tubuh dan yang terlihat hanya tangan dan wajah. Ada juga yang memfatwakan bahwa jilbab-hijab harus terulur ke seluruh tubuh kecuali mata. Ada pendapat yang lebih longgar bahwa jilbab boleh terulur hanya menutupi rambut. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa jilbab hanyalah produk budaya-tradisi, dan menggunakan baju yang sopan tanpa jilbab pun sudah termasuk syar'i.

Terlepas dari persoalan perdebatan cara berjilbab, teringat bagaimana saat aku pertama kali berjilbab. Betapa beratnya sebuah keputusan berjilbab, bahkan memulai dan menjalani serta beradaptasi dengan jilbab tidaklah remeh bagi setiap muslimah. Itu sebabnya aku kurang simpatik pada kaum Adam  yang membicarakan tentang keharusan berjilbab dan tampil secara elegan.  Mereka hanya inginkan indah yang mereka pandang. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya  menjadi perempuan dan jilbabnya.

Kisahku berjilbab sejak awal juga saaat ini adalah karunia; Sejak kecil aku terbiasa mengenakan jilbab. Tujuh tahun lamanya jilbab segiempat warna-warni menjadi perhiasan utamaku. Tiba saat aku menginjak masa-masa remaja aku melepas jilbabku. Terbawa arus dan perubahan iklim pendidikan yang membuatku begitu. Melepas jilbab bukan hal yang tabu saat itu, dan kedua orang tuaku tidak berkomentar apa-apa. Dimana lingkunganku berada saat SMP adalah sekolah negeri yang tidak mewajibkan siswanya berjilbab. Jadi aku bebas berekspresi dengan rambutku yang tujuh tahun lamanya tidak tertimpa cahaya matahari.

Lebih dari eman tahun kulalui tanpa menghias kepalaku dengan jilbab. Kerudung sesekali kupakai hanya jika ada kegiatan keagamaan yang mewajibkan berpakaian ala muslimah.

Seorang 'aku dengan jilbabku' di hari ini pun tidak terlepas dari proses pendewasaan lahir dan batin yang pastinya tidak instan. Ku lewati banyak fase untuk bisa memutuskan berjilbab dengan modis (atau apalah namanya), meliputi fase mengkaji, memahami dan mengolah semua teks-teks yang berhubungan dengan jilbab. Jadi, aku enggan disebut sebagai muslimah yang disebut jilbab 'mode' (baca: ikut-ikutan).

Aku kembali menggunakan jilbab sebagai perhiasan jauh setelah aku beranjak dewasa. Gaya jilbab yang aku gunakan sekarang ini, tidaklah lepas dari paradigma berislam menurutku pribadi. Jika beberapa orang menganggap bahwa jilbabku tidak syar'i, ya itu hak mereka untuk meyatakan pendapat tapi tidak untuk justifikasi. Memutar kembali memoriku tentang aku dan jilbabku sangatlah mudah. Tapi kesudahannya yang membuatku gundah. Akhirnya aku pun terlelap dalam tidurku.

Keesokan paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, sudah rutinitasku terjaga untuk mendengarkan lantunan merdu suara adzan. Kulihat handphoneku, ternyata ada satu pesan masuk yang belum kubaca. Iya, saya tahu semua harus karena Allah. Tapi apakah untuk berpakaian syar’i harus ditunda-tunda. Dicoba aja dulu, pasti nyaman nantinya. Tak langsung kujawab pesan itu, karena adzan subuh sudah berkumandang. Segera aku bangkit dari tempat tidur dan menuju bagian belakang rumah untuk membasuh wajahku dengan air wudhu. Berharap aku bisa tenang dari semua beban pikiran semalam.

Usai solat subuh, kuketikkan pesan balasan. Aku tahu tapi aku butuh waktu. Yang aku mau cuma membersihkan niatku dari hal lain selain Nya. Doakan aja ya. Aku tersenyum dan puas dengan hasil pemikiranku. Iya. Amiin.Balasan yang kuterima.

Hingga beberapa bulan kemudian aku masih memikirkan kata-kata mus dalam pesan singkatnya. Bahkan tak pernah kuhapus pesan itu dari kotak masuk handphone ku. Tiap kali aku menemukan bahasan tentang jilbab-hijab, kembali kubuka pesan itu.

Aku merasa paradigma yang kutanam tentang jilbab syar’i selama ini salah. Tapi aku juga tidak mau mus berpikiran bahwa aku berubah hanya karena makhluk bernama “pria”. Aku hanya ingin menjauhkan niatku dari hal-hal diluar Allah. Hingga aku sampai pada titik paling ragu saat itu. Aku pun menghubungi Agustin yang kurasa cukup mampu menjawab kegalauanku. Agustin, gadis berpakaian longgar dan berjilbab lebar. Ini menemukaan pilihannya berbusana juga mengalami perdebatan panjang dengan hati pastinya. Bukan hanya hati, lingkungan pun memiliki caranya sendiri untuk berdebat. Kukirimkan pesan singkat padanya. Aku bingung. Aku pengen berpakaian syar’i. Tapi aku takut dibilang jadi jilbaber cuma karena ikhwan. Menurutmu gimana? Lama kutunggu tak ada balasan. Aku memutuskan untuk menulis kisahku. Aku memang terbiasa menumpahkan segala rasaku lewat bait-bait puisi ataupun narasi-narasi pendek.

Hampir dua jam aku bernarasi, handphone ku berbunyi. Balasan yang sangat singkat. Melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu karena selain Allah dua-duanya termasuk riya’. Singkat memang. Tapi aku terpana membacanya. Jawaban sepeti inilah yang aku inginkan. Tapi aku belum siap menerima jawaban ini.

Kenapa? Karena setiap muslimah seperti apapun caranya berjilbab adalah proses untuk mencapai pengetahuan spritual masing-masing. Sifatnya tentu saja sangat subjektif. Dan yang tahu hanya dirinya sendiri dan Allah Maha cinta.

Jika ada seseorang mengklaim  bahwa aku termasuk orang yang telah mengetahui
tentang  berjilbab syar'i, namun menurutnya jilbabku tidak syar'i, maka aku akan bilang bahwa ada perspektif lain mengenai berjilbab syar'i.  Ya, persprektif lain yang masih pandangan ulama kontemporer dan kontekstual. 

Hello, buka mata karena ada banyak perspektif ulama yang memfatwakan jilbab syar'i berbeda dengan paham ulama yang kamu anut.

Bagi saya jilbab adalah bagian dari ekspresi diri yang meliputi keasyikan tersendiri dengan Allah. Itu artinya bila dalam personalitas baik memiliki kebersihan hati, kemuliaan akhlak dan potensi yang keren tentu dia akan terpancar pada keanggunan mereka. Mereka berakhlak dan berpikir terlepas seperti apa dia menggunakan berjilbab. Masih itu pendapatku dalam perdebatan hatiku.

Aku terus mencari pembenaran dari perspektif yang kulihat. Tapi semakin banyak aku mencari semakin sedikit pembenaran-pembenaran yang kutemukan. Hingga pada sebuah acara, aku bertemu dengan teman satu kelompok mengajiku. ”Kamu masih pake celana ya? Saya kira ga.” Tertegun aku dan kujawab sambil tersenyum. “Iya, aku mah suka-suka aja. Kalo pengen pake celana ya pake celana. Kalo pengen pake rok ya pake rok.”.Jawaban sembrono yang justru membuatku semakin terpojok dalam pikiranku sendiri.
Suka-suka. Apakah agama hanya kujadikan ajang suka-suka, sedang aku terus mengaji dan mengkaji islam secara lebih dalam. Hanya seginikah pemahamanku tentang berpakaian syar’i. Acara berlalu tanpa aku menikmatinya. Aku seperti terasing dalam pikiranku sendiri.

Pandangan ulama yang mana yang aku jadikan pembenaran? Sedang di dalam semua jurnal terbaru, dalam Al-Qur’an serta dalam riwayat semua sahabat tidak ada yang membenarkan pemikiranku. Aku hanya mencari-cari pembenaran tentang egoku sendiri. Aku hanya sombong tentang pendapatku sendiri. Beginikah cara berpikir seorang sarjana yang kerap ikut serta dalam pengajian rutin. Bukan. Ini adalah pola pikir orang awam yang belum mengenal islam. Ya, aku sedang memuaskan egoku.

Sesampainya di rumah tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba adik lelakiku memberondong dengan penyataan. “Mb, kamu ga’ usah pake’ celana-celana lagi si. Risih aku liatnya, pake jilbab kok kayak gitu.” Lagi-lagi aku terdiam. Sebenarnya aku bersyukur sangat banyak orang yang memperdulikan aku untuk menjadi yang lebih baik. Untuk berpakaian syar’i. Humar berlalu sambil menyerahkan kain hitam yang dibungkus plastik transparan. Kubuka plastik itu dikamarku. Subhanallah. Rok hitam polos tanpa motif dengan rampel dalam isinya. Sejak hari itu kuputuskan akan kuganti semua celanaku dengaan rok ataupun terusan panjang. Akupun menemukan hakikat berjilbab yang sebenarnya. Akupun menemukan jati diriku sebagai seorang muslimah. Ya, muslimah yang selalu berproses untuk menjadi yang lebih baik lagi.

Semua orang memang harus tahu bagaimana perempuan dan jilbabnya. Bagaimana polemik yang terjadi dalam diri perempuan tentang jilbabnya. Karena ini aku. Ini kisahku.
10 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar