Selasa, 04 Desember 2012

Penantian (aku dan ibu)



Besok adalah hari bahagiaku. Bukan cuma aku, tapi semua anggota keluargaku. Bukan karena besok adalah hari sabtu. Tapi lebih karena besok adalah hari pernikahanku. Ya, hari pernikahan yang sudah lama dinantikan keluargaku. Terutama ibuku. Sering tangis membanjiri hati ini tiap kali teringat usaha ibu untuk mencarikan orang yang tepat untukku. Namun apa dikata, jodohku bukan para pria pilihan ibu ternyata.
***
28 tahun bukan usia yang muda mengingat statusku yang masih lajang. Bukan hanya satu kali pertanyaan ‘kapan nikah’ sampai ditelingaku. Dan aku hanya menjawab dengan senyum sembari berkata “Nanti kalo udah waktunya pasti saya nikah”. Jawaban klise memang, tapi hanya jawaban itu yang ku punya untuk membungkam tanya yang akan semakin panjang jika kujawab dengan kalimat yang lain. Bukannya stigma negatif ini artinya, tapi begitulah lingkungan tempatku beraktifitas. Penuh pergunjingan.

Empat tahun yang lalu pernah ada pinangan untukku. Bukan orang sembarangan yang meminangku. Orang tuanya adalah orang yang cukup berada dan berpengaruh dikotanya. Palembang. “Kamu pasti bahagia” ucap ibuku saat itu. Dan aku hanya menjawab dalam hati tanya ibu tersebut “Jika harta yang akan membuatku bahagia, maka dialah jodoh yang dikirimkan Allah untukku”. Bukan karena dia kaya aku tak menjawab iya pada ibu. Bukan juga karena dia kerabatku aku bilang tidak. Tapi karena saat itu aku baru saja menjalankan kewajibanku sebagai muslimah untuk berhijab. Sedangkan dunia malam serta dunia hitam tidak lagi asing bagi lelaki yang meminangku tersebut. Sedih saat aku harus mengatakan tidak pada ibu. Tapi aku tak mau dalam kondisi ku yang masih labil ini aku harus mengayomi suamiku nantinya. Sedang pada hakikatnya akulah yang harusnya dibimbing olehnya.

Entah jawaban apa yang diutarakan ibu pada pria itu hingga dia tetap menungguku dua tahun setelah aku bilang tidak akan pinangan itu. Karena aku tetap tak bergeming setelahnya, diapun memutuskan untuk menikahi wanita lain dalam kurun waktu yang tak singkat. Belakangan aku tahu kenapa orang tuanya menginginkanku dulu untuk menikah dengan wahyu. Ternyata mereka berharap harta keluarga tak jatuh ke tangan orang lain. Alhamdulillah batinku, karena dulu aku tidak bilang iya.

Hanya berselang setahun dari pinangan wahyu, seorang lelaki rekan sekerjaku mengutarakan niatnya pada kakakku. Bukan lagi rahasia jika seluruh karyawan di tempatku bekerja tahu bahwa aku tidak berniat menjalin hubungan ‘pacaran’. Kolot mungkin. Tapi itulah aku. Dan aku bangga dengan hal itu. Aku hanya ingin lelaki berani yang melamarku untuk menjadikanku istrinya, bukan yang menginginkanku jadi pacarnya. Dan eka tahu itu.

Sedikit berharap pada eka bahwa dia akan berani menginjakkan kakinya di halaman rumahku dan memintaku pada ayah. Namun itu tak terjadi. Eka hanya menjadikanku perbincangan antara dia dan teman-temannya, juga kakakku bahwa dia berniat menikahiku. Aku pun mengutarakan rencana ku dan wahyu pada ayah. Namun ayah menentang. Karena jika aku menikah saat itu, aku harus melangkahi tiga orang kakaku. Dan ayah tidak menghendaki hal itu. Hal itu tabu menurut pendapat ayah.
Hingga pada akhirnya aku tahu bahwa ada seorang gadis  lagi yang diberikan harapan oleh wahyu untuk dinikahi. Tiwi, seorang office girl dikantorku. Aku takut menyakiti hati seorang wanita, karena aku juga adalah wanita yang pastinya tak ingin disakiti hatinya. Aku pun menyadari bahwa restu orang tua sangatlah penting. Dan firasat orang tua seperti ayahku terbukti ada maknanya. Lagi-lagi kuucap Alhamdulillah.

Eka tak pernah tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya pada tiwi. Dia tetap tak henti menanyakan kesiapan dan kesediaanku. Akupun menceritakan perihal keberatan ayahku serta memintanya untuk mencari gadis lain yang siap menikah dalam waktu dekat. Aku tak pernah menyinggung mengenai tiwi dihadapan eka. Biarlah dia mengira aku tak tahu apa-apa tentang perbuatannya.
Seperti melihat oase di tengah gurun saat mendengar eka berkata “Aku ga mau nikah kalo ga sama kamu”. Jujur aku bahagia. Karena memang meskipun eka termasuk pria yang biasa-biasa saja, aku sempat mengharapkan bahwa dia adalah jodoh yang dikirimkan Allah untukku. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Aku takut kecewa dikemudian hari.

Ketakutanku benar adanya. Hanya beberapa bulan sejak eka membuaiku dengan rayuannya, kudengar kabar bahwa eka hendak menikah satu bulan kedepan. Shock. Pastinya. Kurasa wajar aku kecewa, mengingat aku pernah mengharapkannya. Lagi-lagi tawakal adalah kuncinya. Aku hanya meyakinkan diriku bahwa eka bukan yang terbaik untukku dan aku mungkin bukan yang terbaik untuk eka. Aku tetap menghadiri pesta pernikahan eka dengan lapang dada. Bohong jika aku tidak sakit hati. Tapi tetap kucoba tersenyum.Karena hanya senyum yang menguatkanku.

Bukan perkara mudah melupakan hari itu dan eka. Bahkan sempat aku ragu dan bahkan takut untuk didekati seorang pria. Berkali lamaran yang ditujukan padaku aku tak pernah bilang iya. Entah itu langsung diungkapkan padaku ataupun pada orang tuaku. Hanya aku dan beberapa orang yang kukehendaki yang kubiarkan tahu rasaku. Titik nadir mungkin orang lain menyebutnya. Tapi yang merasakan hanya aku, bukan mereka.

Ibu mulai khawatir. Kembali ibu mencoba menjodohkanku dengan anak dari sahabatnya. Chandra, seorang Kepala satuan polisi pamong praja di kota ini. Bukan aku tak mau dengannya. Akhlaknya baik, mapan, dan latar belakang keluarganya jelas. Namun aku mengukur diri. Siapa aku hingga berani menolak seorang yang memang layak untuk diterima. Namun aku juga tidak berani langsung bilang iya, karena Chandra belum mengetahui rencana ibuku dan ibunya.

Sejak perbincangan itu, tante wid ibu candra sering datang kerumah. ‘Kangen ibu’ alasan yang diungkapkannya. Namun aku tahu apa alasan sebenarnya. Aku tidak berharap pada Chandra. Dia memiliki semua yang ada pada laki-laki yang diinginkan wanita. Tapi aku sendiri tak tahu kenapa aku masih tidak meletakkaan Chandra dihatiku.
Hingga pada suatu hari, datang tante wid kerumahku dengan wajah muram. “Chandra sudah membawa calonnya kerumah kemarin” ungkap tante wid. Tergurat kekecewaan di wajah ibu, namun dia berkata “Bukan jodong jeng”. Tante wid meminta maaf  pada aku dan ibu. Aku bingung apa yang harus kulalukan, karena tante wid tidak berbuat salah apapun padaku. Malahan aku yang merasa tidak enak pada tante wid. “Ga apa tente, belum jodoh. Bener kata ibu” ucapku disela permintaan maaf tante wid. Sebulan kemudian Chandra melangsungkan pernikahan yang sangat megah. Kami sekeluarga diwajibkan datang semuanya oleh tante wid. Aku tidak datang. Bukan karena kecewa. Tapi karena tidak ada yang mengantarku ke lokasi resepsi.
Tak terbersit sedikitpun penyesalan dihatiku. Aku sendiri tak tahu kenapa. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sudahlah.
***
Aku ingat betul hari itu. Saat itu handphone milikku berdenting. Kubuka pesan dari teman terdekatku, yuni. Kubaca isinya. “Juli, temenku yang aku bilang waktu itu mau serius dengan juli”. Terkesima aku membaca pesan singkat itu. Kembali mengingat maksud pesan yuni, namun tak membuahkan hasil. Tak segera kubalas, karena aku bingung hendak membalas apa. Satu pesan ku terima lagi, dengan isi yang berbeda “Gimana juli?”. Lagi. Temanku mendesak jawabanku. Akupun mengetikkan kalimat singkat sebagai balasan. Kembali kuterima pesan dari temanku, “Kalo penasaran liat aja facebook aku juli, disitu ada foto dia lagi sendirian. Tergagap aku, kuceritakan hal itu pada adik perempuanku, ana.

Ana justru lebih bersemangat daripada aku sendiri. Dia pun menyalakan komputer dan mulai masuk ke beranda facebook. Kubuka profil temanku, dan kulihat foto yang ditandai aku didalamnya. Lelaki itu biasa saja, bahkan tidak ada rasa apapun saat aku melihat fotonya. Namun ana mengingatkan, “tak ada manusia yang sempurna yuk” ucapnya.
Akupun memantapkan niatku, dan kukabarkan hal ini pada yuni melalui pesan singkat. Perjodohan dengan yuni sebagai mak comblang pun berjalan. Aku khawatir, murobbi ku akan kecewa dengan cara kami ini. Karena cara ini tidak sesuai dengan jalur yang seharusnya. Aku meminta yuni untuk membicarakan hal ini dengan murobbi kami. Ternyata yuni sudah memikirkannya sejak sebelum menanyakan hal ini padaku. Sungguh terencana memang hidup yuni ini. Tidak seperti aku yang berantakan.

Tiba pada hari sabtu dimana teman-teman halaqoh yang lain belum datang, aku, yuni, dan umi ida datang lebih awal. Umi ida murabbi ku. Yuni menceritakan semuanya pada umi. Alhamdulillah umi tidak memberatkan cara kami. “Umi Cuma berdoa semoga dia yang terbaik.” Ucap umi. Doa itu kami amini bersama.
Perjodohan pun dilanjutkan. Aku dan mas yogi berhubungan dengan yuni sebagai perantara. Aku enggan memberikan nomor handphone ku pada mas yogi. Karena syariat memang tak memperkenankan kami saling berkhalwat sebelum menikah. Menurutku media komunikasi apapun bisa jadi alat untuk berkhalwat, termasuk handphone.

Beberapa minggu setelahnya mas yogi mengutarakan niatnya untuk mengenal aku dan keluargaku lebih jauh. Akupun mengiyakan, dan menyampaikan hal ini pada ibu. Hari minggu mas yogi datang kerumahku dengan didampingi teman dan istri temannya tersebut. Setelah berbincang cukup lama, mas yogi memutuskan untuk pulang. Aku pun kembali mengingatkan, jika memang tidak berkenan tidak dilanjutkan pun tak apa. Karena pernikahan bukan hal yang main-main. Setelah kepulangan mas yogi aku tak menaruh harapanku terlalu besar.
Tanpa disangka satu minggu berselang ada pesan singkat masuk kehandphone ku. Isinya memintaku untuk berkunjung ke kediaman mas yogi. Alasannya karena kakak-kakak mas yogi ingin mengenalku lebih jauh. Ya, kakak-kakaknya. Karena mas yogi sudah tidak memiliki orang tua lagi sejak duduk di bangku SMA. Hal ini kuketahui dari yuni.

Tanggal lima kuputuskan untuk menuju kota metro ditemani adik perempuan dan dua orang temanku. Maklum, aku dan adikku sama-sama tidak bisa menunggang kuda modern itu. Sesampainya di sana, aku diminta bertandang ke tiga rumah kakak mas yogi. Tak dinyana, mas yogi ternyata berasal dari keluarga berada. Rendah diri pastinya. Tapi kutepiskan perasaan itu. Karena tujuanku datang kemari adalah untuk silaturahim dengan keluarga mas yogi.

Tiga jam kuhabiskan waktuku untuk bertandang dan bercakap dengan ketiga pasang suami istri kakak-kakak mas yogi. Pukul satu lebih beberapa menit aku pamit pulang pada mas danu. Rumah yang terakhir kami kunjungi. Dalam perjalanan pulang aku mengingat lagi percakapan kami tadi. Ada satu pertanyaan yang membuatku sempat kebingungan menjawabnya. Pertanyaan yang dilontarkan mbak sri, kakak tertua mas yogi. “Kenapa kamu yakin mau nikah dengan yogi? Padahal kan kamu belum kenal betul dengan yogi.” tanyanya. Aku bingung harus jawab apa saat itu, sehingga akhirnya aku mengatakan “Karena agama kita memerintahkan untuk tidak pacaran makanya saya menempuh cara ini mbak” . Terlalu diplomatis mungkin jawabanku. Tapi itulah hal pertama yang terpikirkan olehku.

Sesampainya dirumah, aku meyakinkan diri untuk tak berharap banyak pada keluarga mas yogi. Mas yogi menginginkanku, tapi apa keluarganya juga. Karena sepertinya mbak sri kurang berkenan terhadapku. Entahlah. Waktu yang akan menjawabnya.
Kabar gembira itu datang pada syawal ketiga tahun ini. Saat mas yogi menelepon dan mengatakan akan datang melamar pada hari minggu ini. Sujud syukur aku pada Allah yang telah memberikan jawabannya padaku dihari nan fitri ini. Akupun menyampaikan berita gembira ini pada ibu. Aku ingin ibu adalah orang yang tahu untuk pertama kali mengenai hal ini. Ibu pun turut gembira dengan kabar ini. Alhamdulillah.

Malam harinya aku menyampaikan pada seluruh anggota keluargaku. Ayah tidak mengatakan setuju atau tidak. Ayah hanya diam. Sejenak kemudian dia berkata “Semua terserah kak yi, kalo dia mau dilangkah ya kamu duluan. Obrolin dengan kak yi”. Blammmm… Aku kehilangan semangat. Ya, aku masih punya satu orang kakak lagi yang belum menikah. Ternyata syarat yang harus kupenuhi empat tahun lalu masih berlaku hingga saat ini. Ya Allah, ujian seperti apa lagi yang akan aku terima.

Akupun bicara dari hati ke hati dengan kak yi. Ternyata kak yi memang berencana menikah dengan pacarnya yang saat ini masih bekerja diluar kota. Mbak nita, pacar kak yi itu akan pulang ke lampung awal tahun depan. Aku merayu kak yi untuk membicarakan waktu pernikahannya dengan mbak nita itu secepatnya. “Kalo bisa nikahnya november kak.” Ucapku bersemangat. Kak yi tak menjanjikan apa-apa. Semangatku mengendur. Kuhubungi mas yogi dan kuceritakan apa yang terjadi. Mas yogi bilang kalau bisa bulan desember, karena kakak mas yogi yang berlayar hanya pulang satu tahun sekali. Dan itu bulan desember. Dan kakaknya itu ingin hadir diacara pernikahan kami. Aku hanya bisa berdoa.

Allah memang tidak tidur. Doaku kembali terjawab dengan jawaban yang luar biasa indah. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk seluruh keluargaku. Ketika kak yi pulang kerumah dengan membawa wanita idamannya dan mengatakan ingin segera menikah dengan wanita itu. Dia mbak evi, guru TK teman lama kak yi. Aku tahu bukan mbak evi yang dulu akan diperkenalkan pada kami oleh kak yi. Tapi biarlah, aku tak menanyakan hal itu pada kak yi. Kak yi telah menemukan kemana cintanya akan bermuara. Aku membaca raut bahagia di wajah ayah. Aku tak tahu itu ditujukan untuk kak yi atau untukku. Pastinya ayah bahagia hari itu. Akhirnya disepakati kak yi menikah bulan november, dan aku bulan desember. Tiada kebahagiaan melebihi hal ini yang kurasakan di tahun-tahun belakangan ini. Doaku terjawab. Kebahagiaan orang tuaku yang tiada tara menjelang usia mereka yang semakin senja. Ini adalah hal yang paling indah bagi kami.
***
Dan besok aku akan menikah. Aku akan jadi pengantin. ”Ibu, hari ini 22 desember. Hari ini hari ibu. Hari ini harimu. Dan hari ini kupersembahkan kado terindah yang kau harapkan selama ini. Ibu, hari ini hari pernikahanku.” Aku ingin mengatakan hal itu pada ibu besok. Ya besok. Tepat sebelum akad nikah dilangsungkan. Ini semua untuk ibu.
16 November 2012

2 komentar:

  1. baguuuuuus
    tp pendek (#hehe cerpen siii yaa)
    konfliknya trlalu singkat mb ceritanya..jd rasanya cm sekilas gt..
    dipanjangin lg bgus ituu, jd novel nti,he

    #gxjlskomennya

    BalasHapus