Besok
adalah hari bahagiaku. Bukan cuma aku, tapi semua anggota keluargaku. Bukan
karena besok adalah hari sabtu. Tapi lebih karena besok adalah hari pernikahanku.
Ya, hari pernikahan yang sudah lama dinantikan keluargaku. Terutama ibuku.
Sering tangis membanjiri hati ini tiap kali teringat usaha ibu untuk mencarikan
orang yang tepat untukku. Namun apa dikata, jodohku bukan para pria pilihan ibu
ternyata.
***
28 tahun
bukan usia yang muda mengingat statusku yang masih lajang. Bukan hanya satu
kali pertanyaan ‘kapan nikah’ sampai ditelingaku. Dan aku hanya menjawab dengan
senyum sembari berkata “Nanti kalo udah waktunya pasti saya nikah”. Jawaban
klise memang, tapi hanya jawaban itu yang ku punya untuk membungkam tanya yang
akan semakin panjang jika kujawab dengan kalimat yang lain. Bukannya stigma negatif
ini artinya, tapi begitulah lingkungan tempatku beraktifitas. Penuh
pergunjingan.
Empat
tahun yang lalu pernah ada pinangan untukku. Bukan orang sembarangan yang
meminangku. Orang tuanya adalah orang yang cukup berada dan berpengaruh
dikotanya. Palembang. “Kamu pasti bahagia” ucap ibuku saat itu. Dan aku hanya
menjawab dalam hati tanya ibu tersebut “Jika harta yang akan membuatku bahagia,
maka dialah jodoh yang dikirimkan Allah untukku”. Bukan karena dia kaya aku tak
menjawab iya pada ibu. Bukan juga karena dia kerabatku aku bilang tidak. Tapi
karena saat itu aku baru saja menjalankan kewajibanku sebagai muslimah untuk
berhijab. Sedangkan dunia malam serta dunia hitam tidak lagi asing bagi lelaki
yang meminangku tersebut. Sedih saat aku harus mengatakan tidak pada ibu. Tapi
aku tak mau dalam kondisi ku yang masih labil ini aku harus mengayomi suamiku
nantinya. Sedang pada hakikatnya akulah yang harusnya dibimbing olehnya.
Entah
jawaban apa yang diutarakan ibu pada pria itu hingga dia tetap menungguku dua
tahun setelah aku bilang tidak akan pinangan itu. Karena aku tetap tak
bergeming setelahnya, diapun memutuskan untuk menikahi wanita lain dalam kurun
waktu yang tak singkat. Belakangan aku tahu kenapa orang tuanya menginginkanku
dulu untuk menikah dengan wahyu. Ternyata mereka berharap harta keluarga tak
jatuh ke tangan orang lain. Alhamdulillah batinku, karena dulu
aku tidak bilang iya.
Hanya
berselang setahun dari pinangan wahyu, seorang lelaki rekan sekerjaku
mengutarakan niatnya pada kakakku. Bukan lagi rahasia jika seluruh karyawan di
tempatku bekerja tahu bahwa aku tidak berniat menjalin hubungan ‘pacaran’.
Kolot mungkin. Tapi itulah aku. Dan aku bangga dengan hal itu. Aku hanya ingin
lelaki berani yang melamarku untuk menjadikanku istrinya, bukan yang
menginginkanku jadi pacarnya. Dan eka tahu itu.
Sedikit
berharap pada eka bahwa dia akan berani menginjakkan kakinya di halaman rumahku
dan memintaku pada ayah. Namun itu tak terjadi. Eka hanya menjadikanku
perbincangan antara dia dan teman-temannya, juga kakakku bahwa dia berniat
menikahiku. Aku pun mengutarakan rencana ku dan wahyu pada ayah. Namun ayah
menentang. Karena jika aku menikah saat itu, aku harus melangkahi tiga orang
kakaku. Dan ayah tidak menghendaki hal itu. Hal itu tabu menurut pendapat ayah.
Hingga
pada akhirnya aku tahu bahwa ada seorang gadis lagi yang diberikan
harapan oleh wahyu untuk dinikahi. Tiwi, seorang office girl dikantorku.
Aku takut menyakiti hati seorang wanita, karena aku juga adalah wanita yang
pastinya tak ingin disakiti hatinya. Aku pun menyadari bahwa restu orang tua
sangatlah penting. Dan firasat orang tua seperti ayahku terbukti ada maknanya.
Lagi-lagi kuucap Alhamdulillah.
Eka tak
pernah tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya pada tiwi. Dia tetap tak henti
menanyakan kesiapan dan kesediaanku. Akupun menceritakan perihal keberatan
ayahku serta memintanya untuk mencari gadis lain yang siap menikah dalam waktu
dekat. Aku tak pernah menyinggung mengenai tiwi dihadapan eka. Biarlah dia
mengira aku tak tahu apa-apa tentang perbuatannya.
Seperti
melihat oase di tengah gurun saat mendengar eka berkata “Aku ga mau nikah kalo
ga sama kamu”. Jujur aku bahagia. Karena memang meskipun eka termasuk pria yang
biasa-biasa saja, aku sempat mengharapkan bahwa dia adalah jodoh yang
dikirimkan Allah untukku. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Aku takut kecewa
dikemudian hari.
Ketakutanku
benar adanya. Hanya beberapa bulan sejak eka membuaiku dengan rayuannya,
kudengar kabar bahwa eka hendak menikah satu bulan kedepan. Shock. Pastinya.
Kurasa wajar aku kecewa, mengingat aku pernah mengharapkannya. Lagi-lagi
tawakal adalah kuncinya. Aku hanya meyakinkan diriku bahwa eka bukan yang
terbaik untukku dan aku mungkin bukan yang terbaik untuk eka. Aku tetap
menghadiri pesta pernikahan eka dengan lapang dada. Bohong jika aku tidak sakit
hati. Tapi tetap kucoba tersenyum.Karena hanya senyum yang menguatkanku.
Bukan
perkara mudah melupakan hari itu dan eka. Bahkan sempat aku ragu dan bahkan
takut untuk didekati seorang pria. Berkali lamaran yang ditujukan padaku aku
tak pernah bilang iya. Entah itu langsung diungkapkan padaku ataupun pada orang
tuaku. Hanya aku dan beberapa orang yang kukehendaki yang kubiarkan tahu
rasaku. Titik nadir mungkin orang lain menyebutnya. Tapi yang merasakan hanya
aku, bukan mereka.
Ibu mulai
khawatir. Kembali ibu mencoba menjodohkanku dengan anak dari sahabatnya. Chandra,
seorang Kepala satuan polisi pamong praja di kota ini. Bukan aku tak mau
dengannya. Akhlaknya baik, mapan, dan latar belakang keluarganya jelas. Namun
aku mengukur diri. Siapa aku hingga berani menolak seorang yang memang layak
untuk diterima. Namun aku juga tidak berani langsung bilang iya, karena Chandra
belum mengetahui rencana ibuku dan ibunya.
Sejak
perbincangan itu, tante wid ibu candra sering datang kerumah. ‘Kangen ibu’
alasan yang diungkapkannya. Namun aku tahu apa alasan sebenarnya. Aku tidak
berharap pada Chandra. Dia memiliki semua yang ada pada laki-laki yang
diinginkan wanita. Tapi aku sendiri tak tahu kenapa aku masih tidak meletakkaan
Chandra dihatiku.
Hingga
pada suatu hari, datang tante wid kerumahku dengan wajah muram. “Chandra sudah
membawa calonnya kerumah kemarin” ungkap tante wid. Tergurat kekecewaan di
wajah ibu, namun dia berkata “Bukan jodong jeng”. Tante wid meminta maaf
pada aku dan ibu. Aku bingung apa yang harus kulalukan, karena tante wid tidak
berbuat salah apapun padaku. Malahan aku yang merasa tidak enak pada tante wid.
“Ga apa tente, belum jodoh. Bener kata ibu” ucapku disela permintaan maaf tante
wid. Sebulan kemudian Chandra melangsungkan pernikahan yang sangat megah. Kami
sekeluarga diwajibkan datang semuanya oleh tante wid. Aku tidak datang. Bukan
karena kecewa. Tapi karena tidak ada yang mengantarku ke lokasi resepsi.
Tak
terbersit sedikitpun penyesalan dihatiku. Aku sendiri tak tahu kenapa. Mungkin
karena aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sudahlah.
***
Aku ingat
betul hari itu. Saat itu handphone milikku berdenting. Kubuka
pesan dari teman terdekatku, yuni. Kubaca isinya. “Juli, temenku yang aku
bilang waktu itu mau serius dengan juli”. Terkesima aku membaca pesan singkat
itu. Kembali mengingat maksud pesan yuni, namun tak membuahkan hasil. Tak
segera kubalas, karena aku bingung hendak membalas apa. Satu pesan ku terima
lagi, dengan isi yang berbeda “Gimana juli?”. Lagi. Temanku mendesak jawabanku.
Akupun mengetikkan kalimat singkat sebagai balasan. Kembali kuterima pesan dari
temanku, “Kalo penasaran liat aja facebook aku juli, disitu
ada foto dia lagi sendirian. Tergagap aku, kuceritakan hal itu pada adik
perempuanku, ana.
Ana justru lebih bersemangat daripada aku sendiri. Dia pun menyalakan komputer dan
mulai masuk ke beranda facebook. Kubuka profil temanku, dan
kulihat foto yang ditandai aku didalamnya. Lelaki itu biasa saja, bahkan tidak
ada rasa apapun saat aku melihat fotonya. Namun ana mengingatkan, “tak ada
manusia yang sempurna yuk” ucapnya.
Akupun
memantapkan niatku, dan kukabarkan hal ini pada yuni melalui pesan singkat.
Perjodohan dengan yuni sebagai mak comblang pun berjalan. Aku khawatir, murobbi
ku akan kecewa dengan cara kami ini. Karena cara ini tidak sesuai dengan jalur
yang seharusnya. Aku meminta yuni untuk membicarakan hal ini dengan murobbi
kami. Ternyata yuni sudah memikirkannya sejak sebelum menanyakan hal ini
padaku. Sungguh terencana memang hidup yuni ini. Tidak seperti aku yang
berantakan.
Tiba pada
hari sabtu dimana teman-teman halaqoh yang lain belum datang,
aku, yuni, dan umi ida datang lebih awal. Umi ida murabbi ku.
Yuni menceritakan semuanya pada umi. Alhamdulillah umi tidak
memberatkan cara kami. “Umi Cuma berdoa semoga dia yang terbaik.” Ucap umi. Doa
itu kami amini bersama.
Perjodohan
pun dilanjutkan. Aku dan mas yogi berhubungan dengan yuni sebagai perantara.
Aku enggan memberikan nomor handphone ku pada mas yogi. Karena
syariat memang tak memperkenankan kami saling berkhalwat sebelum menikah.
Menurutku media komunikasi apapun bisa jadi alat untuk berkhalwat, termasuk handphone.
Beberapa
minggu setelahnya mas yogi mengutarakan niatnya untuk mengenal aku dan
keluargaku lebih jauh. Akupun mengiyakan, dan menyampaikan hal ini pada ibu.
Hari minggu mas yogi datang kerumahku dengan didampingi teman dan istri
temannya tersebut. Setelah berbincang cukup lama, mas yogi memutuskan untuk
pulang. Aku pun kembali mengingatkan, jika memang tidak berkenan tidak
dilanjutkan pun tak apa. Karena pernikahan bukan hal yang main-main. Setelah
kepulangan mas yogi aku tak menaruh harapanku terlalu besar.
Tanpa
disangka satu minggu berselang ada pesan singkat masuk kehandphone ku.
Isinya memintaku untuk berkunjung ke kediaman mas yogi. Alasannya karena
kakak-kakak mas yogi ingin mengenalku lebih jauh. Ya, kakak-kakaknya. Karena
mas yogi sudah tidak memiliki orang tua lagi sejak duduk di bangku SMA. Hal ini
kuketahui dari yuni.
Tanggal
lima kuputuskan untuk menuju kota metro ditemani adik perempuan dan dua orang
temanku. Maklum, aku dan adikku sama-sama tidak bisa menunggang kuda modern
itu. Sesampainya di sana, aku diminta bertandang ke tiga rumah kakak mas yogi.
Tak dinyana, mas yogi ternyata berasal dari keluarga berada. Rendah diri
pastinya. Tapi kutepiskan perasaan itu. Karena tujuanku datang kemari adalah
untuk silaturahim dengan keluarga mas yogi.
Tiga jam
kuhabiskan waktuku untuk bertandang dan bercakap dengan ketiga pasang suami
istri kakak-kakak mas yogi. Pukul satu lebih beberapa menit aku pamit pulang
pada mas danu. Rumah yang terakhir kami kunjungi. Dalam perjalanan pulang aku
mengingat lagi percakapan kami tadi. Ada satu pertanyaan yang membuatku sempat
kebingungan menjawabnya. Pertanyaan yang dilontarkan mbak sri, kakak tertua mas
yogi. “Kenapa kamu yakin mau nikah dengan yogi? Padahal kan kamu belum kenal
betul dengan yogi.” tanyanya. Aku bingung harus jawab apa saat itu, sehingga
akhirnya aku mengatakan “Karena agama kita memerintahkan untuk tidak pacaran
makanya saya menempuh cara ini mbak” . Terlalu diplomatis mungkin jawabanku.
Tapi itulah hal pertama yang terpikirkan olehku.
Sesampainya
dirumah, aku meyakinkan diri untuk tak berharap banyak pada keluarga mas yogi.
Mas yogi menginginkanku, tapi apa keluarganya juga. Karena sepertinya mbak sri
kurang berkenan terhadapku. Entahlah. Waktu yang akan menjawabnya.
Kabar
gembira itu datang pada syawal ketiga tahun ini. Saat mas yogi menelepon dan
mengatakan akan datang melamar pada hari minggu ini. Sujud syukur aku pada
Allah yang telah memberikan jawabannya padaku dihari nan fitri ini. Akupun
menyampaikan berita gembira ini pada ibu. Aku ingin ibu adalah orang yang tahu
untuk pertama kali mengenai hal ini. Ibu pun turut gembira dengan kabar ini. Alhamdulillah.
Malam
harinya aku menyampaikan pada seluruh anggota keluargaku. Ayah tidak mengatakan
setuju atau tidak. Ayah hanya diam. Sejenak kemudian dia berkata “Semua
terserah kak yi, kalo dia mau dilangkah ya kamu duluan. Obrolin dengan kak yi”.
Blammmm… Aku kehilangan semangat. Ya, aku masih punya satu orang kakak lagi
yang belum menikah. Ternyata syarat yang harus kupenuhi empat tahun lalu masih
berlaku hingga saat ini. Ya Allah, ujian seperti apa lagi yang akan aku terima.
Akupun
bicara dari hati ke hati dengan kak yi. Ternyata kak yi memang berencana
menikah dengan pacarnya yang saat ini masih bekerja diluar kota. Mbak nita,
pacar kak yi itu akan pulang ke lampung awal tahun depan. Aku merayu kak yi
untuk membicarakan waktu pernikahannya dengan mbak nita itu secepatnya. “Kalo
bisa nikahnya november kak.” Ucapku bersemangat. Kak yi tak menjanjikan
apa-apa. Semangatku mengendur. Kuhubungi mas yogi dan kuceritakan apa yang
terjadi. Mas yogi bilang kalau bisa bulan desember, karena kakak mas yogi yang
berlayar hanya pulang satu tahun sekali. Dan itu bulan desember. Dan kakaknya
itu ingin hadir diacara pernikahan kami. Aku hanya bisa berdoa.
Allah
memang tidak tidur. Doaku kembali terjawab dengan jawaban yang luar biasa indah.
Bukan hanya untukku, tapi juga untuk seluruh keluargaku. Ketika kak yi pulang
kerumah dengan membawa wanita idamannya dan mengatakan ingin segera menikah
dengan wanita itu. Dia mbak evi, guru TK teman lama kak yi. Aku tahu bukan mbak
evi yang dulu akan diperkenalkan pada kami oleh kak yi. Tapi biarlah, aku tak
menanyakan hal itu pada kak yi. Kak yi telah menemukan kemana cintanya akan
bermuara. Aku membaca raut bahagia di wajah ayah. Aku tak tahu itu ditujukan
untuk kak yi atau untukku. Pastinya ayah bahagia hari itu. Akhirnya disepakati
kak yi menikah bulan november, dan aku bulan desember. Tiada kebahagiaan
melebihi hal ini yang kurasakan di tahun-tahun belakangan ini. Doaku terjawab.
Kebahagiaan orang tuaku yang tiada tara menjelang usia mereka yang semakin
senja. Ini adalah hal yang paling indah bagi kami.
***
Dan besok
aku akan menikah. Aku akan jadi pengantin. ”Ibu, hari ini 22 desember. Hari ini
hari ibu. Hari ini harimu. Dan hari ini kupersembahkan kado terindah yang kau
harapkan selama ini. Ibu, hari ini hari pernikahanku.” Aku ingin mengatakan hal
itu pada ibu besok. Ya besok. Tepat sebelum akad nikah dilangsungkan. Ini semua
untuk ibu.
16
November 2012
baguuuuuus
BalasHapustp pendek (#hehe cerpen siii yaa)
konfliknya trlalu singkat mb ceritanya..jd rasanya cm sekilas gt..
dipanjangin lg bgus ituu, jd novel nti,he
#gxjlskomennya
iya ya.. konfliknya jadi numpuk2.. Hehehehe
Hapus