Oleh : Sapardi Djoko Damono
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya
kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai
dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama
mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa
kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami
katakan
siapa yang akan berbicara atas nama
kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang
mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang
mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap
dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak
kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu
yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh
anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung
:
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang
tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya
sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu
mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu
memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu
kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu
kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu
kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang
lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu,
saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka
itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk
mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan
nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata :
pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan
jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan
sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu :
mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk
mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga
yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan
terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi
yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang
cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di
gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di
lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara
hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan
terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini
berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di
atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah
kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara,
paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan
saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom
dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah
dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga
kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak
berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami
tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang
tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa
mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas
kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda
yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir
kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu,
mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu,
mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus
melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat
penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin,
kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit
dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama
masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng,
ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata dengan
tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang
tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang
pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa
mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah
lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang
diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi
: dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti
untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat
yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan
bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap
bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para
bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian
suasana
dari orang-orang yang mengheningkan
cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan
dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan
lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang
yang mengheningkan cipta
Gelora
*Sajak-sajak Perjuangan dan
Nyanyian Tanah Air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar