Selasa, 02 Oktober 2012

Ini (bukan perkara cinta)



Ini bukan perkara cinta bila kamu tanya ‘Apa aku cinta dia’. Tapi ini tentang oleh siapa aku kelak ingin di imami dalam setiap sendi kehidupanku. Ya aku menginginkannya.

Teringat aku tentang perjumpaanku dengannya kali pertama beberapa tahun lalu. Tepatnya tanggal berapa aku tak mampu mengingatnya. Yang aku ingat dengan jelas, batapa aura yang terpancar dibalik ketenangannya mampu menggugahku.
Dia biasa saja. Sangat biasa. Bahkan mengingat tiap goresan pada wajah maupun dirinya aku tak mampu saat itu. Aneh. Memang. Lalu jika kamu tanya kenapa aku ingin dia, aku tak mampu menjawabnya. Tak pernah mampu. Karena tak ada alasan untuk itu. Menurutku.
***
Hari itu, suasana tak sesepi hatiku yang sedang risau karena satu kata ‘rindu’. Rindu padamu hingga jemariku mampu menekan tombol-tombol hape untuk mengirim pesan singkat padamu. “Aku kangen, pengen ketemu” kalimat yang tertulis di layar handphone ku. Tak berselang lama, kuterima jawaban darimu. Hanya dalam hitungan menit dirimu sudah muncul didepan rumahku. “Ayuk” ajakmu saat aku menyambutmu. Kita pun beranjak mencari tempat menumpahkan rindu untuk sekedar berbincang dan bercerita panjang lebar. Itulah kegiatan rutin kita beberapa tahun terakhir. Dan gedung serba guna universitas tujuan kita.
Entah angin apa yang mampu membuatku mengabarkan cinta padamu, di sudut gedung yang selalu ramai oleh pecandu judo itu. Lega bercampur was-was menguasai hatiku. Lega karena akhirnya aku tahu kamu pun memiliki rasa yang sama denganku, meskipun aku sungguh tak inginkan itu. Sungguh. Aku sendiri tak tau kenapa. Entah apa yang membuatku tak pernah mengharapkanmu, meskipun aku tahu cintamu. Pun cintaku tak kusangsikan.
Menjelang siang, usai bercengkerama dengan hati masing-masing, kita beranjak meninggalkan gedung usang saksi perkembangan jaman itu. Kamu memacu motormu menbelah bisingnya jalanan ibukota. Dinas pendidikan kota tempat yang kita tuju. Tempat yang hanya dikunjungi oleh ‘aktivis pers mahasiswa’ kita menyebutnya.
Waktu beranjak meninggalkan siapapun yang mencoba berdialog dengan damai, dan mengabaikan waktu. Sesaat aku tertinggal dalam riuh rendah suasana diruangan yang cukup luas itu. Ruang aula dinas pendidikan kota. Ruangan tanpa meja dan kursi yang mungkin sengaja disingkirkan. Hanya dialasi dengan tikar tipis dan beberapa ambal yang sudah usang. Namun ada yang berbeda. Tirai putih itu menyejukkanku disela kantuk yang tak mungkin lekas tersalurkan. Kantuk memang kerap menyerangku tanpa kenal tempat dan waktu.
Mataku tak dapat menangkap mentari meskipun hanya bayangannya diruangan ini. Karena aku tak terfokus pada keindahan alam. Yang aku tahu jarum jam ditanganku sudah menunjukkan waktu yang tidak lagi siang.
Tiba-tiba dua raga yang tak kukenal memasuki ruangan yang ku ‘keramat’ kan dari luar komunitas. Bukan ruangannya yang keramat, tapi situasi didalamnya yang menurutku keramat. Kesal. Marah. Dongkol. Tapi bisa apa aku? Toh sang pemegag kebijakan mengijinkan mereka untuk ikut mendengarkan dialog kami. Dialog aku menyebutnya. Padahal yang terjadi didalamnya lebih kisruh dari dialog mahasiswa.
Aku terus memaksakan otakku untuk berpikir, karena aku sendiri tahu jika aku tidak berpikir maka bisa dipastikan lelap akan menguasai aku. Berdiskusi, berdebat, dan saling adu argumen sudah jadi kegiatan rutinku selama empat tahun ini. Indah, meskipun melelahkan. Waktu beranjak petang, kegiatan tak dihentikan, hanya rehat sesaat untuk melakukan ibadah solat magrib dan makan malam yang kami lakukan.
Disemua aktifitas yang kulakukan diruangan yang sama dengan kedua orang tersebut tak sekalipun aku mempedulikan mereka. Mereka seperti maya yang tak pernah ada disekitarku. Biarlah. Tak ramah sudah menjadi julukanku sebelum aku masuk ke komunitas ini. Jadi bukan masalah serius jika aku kembali menyandang gelar itu saat ini.
Diskusi terus berlanjut hingga subuh hampir datang. Tepat jarum di jam tanganku menunjukkan 04.20, sidang ditutup sementara untuk istirahat. Percuma. Memang. Tak apalah untuk sekedar men charge daya tahan yang perlahan mulai terasa goyang.
Belum lima menit aku membaringkan badanku yang rasanya seperti ditimpa ribuan ton beban diatas titian batu, tiba-tiba adzan subuh berkumandang. Shitt. Bukan maksud mengumpat. Tapi hanya ungkapan kekesalan yang terlontar secara reflex dari mulutku. Aku pun berjuang melawan lelah dan bangkit dari posisi rebah. Bersama seorang teman yang luar biasa ramahnya, aku menuju ruangan lain di ujung lorong untuk menunaikan solat subuh.
Damn. Belum langkah kami genap sepuluh langkah, sebuah suara menyeruak mengajukan tanya. “Solatnya dimana ya? Air di mushola ga ngalir”. Kekesalanku memuncak pada dua pria yang tak punya toleransi ini. Seharusnya mereka tahu kalau kami sama sekali belum memejamkan mata lama sebelum mereka datang. Tanpa mempedulikan mereka aku ngeloyor meninggalkan mereka. Ga sopan. Biarlah mereka menganggapku ga sopan. Siapa yang berpikir aku peduli dengan kesopanan pagi itu.
Untung besar untuk meraka, aku bersama teman yang memiliki kesabaran dan kadar kesopanan diatas rata-rata. Ima pun menjawab tanya itu dengan manisnya. “Ya udah, kita solat di masjid aja. Deket kok. Yuk, ikut aja.” katanya kemudian.
Masjid memang tak jauh dari tempat kegiatan kami, tapi cukup melelahkan untuk orang yang memang sudah lelah badan sepertiku. Sesampainya di masjid, kubasuh wajahnku dengan dinginnya air yang mengalir dari mulut-mulut keran. Sensasi segar dan dinginnya air menghilangkan kantuk dimataku. Aku tau sensasi itu hanya akan bertahan hingga solat selesai kulaksanakan. Setelahnya entahlah.
Usai solat masjid sudah cukup ramai ternyata. Air yang tidak mengalir di tempat kegiatan kami berdampak pada antrian yang berjajar rapi didepan pintu kamar mandi masjid. Aku tersenyum melihat kelucuan itu. Mereka kurang cerdas pikirku.
Matahari belum tinggi saat aku kembali dari masjid. Tapi sudah cukup terlambat jika ingin melaksanakan solat subuh. Alunan lagu yang cukup keras tak mampu menyingkirkan setan-setan yang bergelayut manja di mata teman-temanku yang masih terpejam. Satu persatu dari mereka kuguncang badannya. Mengingatkan bahwa waktu subuh enggan untuk menunggu. Sedikit bergeliat, ada yang langsung terjaga dan beranjak dari posisinya yang berbaring. Ada pula yang bergeliat dengan mengucapkan kata “Ngantuk si”. Tak sedikit yang bergegas berdiri dan mencari tempat baru untuk berbaring yang aman dari gangguanku. Ada-ada saja.
Setelah semua terbangun dengan paksa, tiba giliranku untuk berbaring dan menunggu datangnya waktu untuk sarapan. Lapar. Pastinya. Aku memang terbiasa makan dipagi hari. Jika tidak maka perutku akan berdendang dengan irama yang luar biasa merdunya. Belum lagi mataku terpejam, weni menghampiriku. Weni adalah gadis yang tak pernah absen menemaniku selama aku bergiat di komunitas ini. Dia seperti aku dalam tubuh yang lain, karena dia tahu semua yang kurasakan. Senang, sedih, bahkan marah selalu kubagi dengannya. “Mandi yuk” ucapnya dengan lirih. Tak dapat kutolak. Terbayang mandi nyaman dirumah weni yang tak jauh dari lokasi, dan diselingi dengan pejam sejenak untuk relaksasi otak. Tawaran yang menarik pikirku.
Tanpa pamit kepada panitia acara kami pun menaiki motor dengan plat bandung tersebut milik weni. Kurang dari lima belas menit kami sudah berada didalam rumah weni. Kebodohan kesekian kalinya yang kulakukan. Aku tidak membawa baju ganti. Alhasil, usai kubersihkan diriku, akupun mengenakan baju weni yang katanya paling kecil. Celana training dan kaos abu-abu jadi seragamku pagi itu sambil tiduran menunggu weni usai membersihkan dirinya. Bukan seragam olah raga yang cantik, karena training itu harus disemat dengan peniti agar sesuai dengan pinggangku. Pun baju yang kukenakan, semakin menampakkan tulang leherku yang memang sudah menonjol. Kebesaran lebih tepat tampaknya.
Tertidur. Hingga dering handphone weni membuyarkan mimpi kami. Aku sengaja tidak membawa handphone milikku, karena alat komunikasi yang satu itu akan menggangguku di saat-saat paling tidak diinginkan. Dan pendapatku benar.
Masih dengan mata yang terasa pedih, weni menurunkan motor dari muka rumahnya menuju jalanan yang ada sekitar limapuluh derajat di bawah rumah. Perlu konsentrasi dan kekuatan ekstra untuk melakukannya. Dan weni punya keduanya, walaupun dalam kondisi yang mengenaskan. Mengenaskan karena kantuk yang menyerang pastinya.
Cepat. Dan lebih cepat dari saat kami meninggalkan tempat rapat, kami akhirnya sampai di ruangan bertirai putih itu lagi. Peserta sudah melingkar dengan rapi diruangan itu. Tak terkecuali dua tamu asing kami. Aku dan weni pun terpisah dan menyusup diantara mereka dalam lingkaran. Dialog dilanjutkan hingga menjelang siang. Tepatnya pukul berapa aku tak tau, yang jelas sekitar jam sepuluh saat kutengok pintu aula semakin ramai dengan beberapa kawan mengitari dua tamu kami. Entah kenapa, yang aku sendiri pun tak tahu tiba-tiba aku ambil bagian dalam kumpulan itu. Segera aku berdiri dan keluar dari lingkaran, menuju pintu aula untuk turut serta melepas dua tamu yang asing bagiku itu.
Berjalan cepat menuju mereka. Sesampainya di depan pintu, kuulurkan tanganku tanda perpisahan pada mereka. Seorang menerima uluran tanganku dan menjabat tnganku. Berbeda dengan rekannya, yang seorang lagi justru mengangkat tangannya dengan kedua telapak bertemu di depan dadanya. Terkesiap. Anehnya aku tidak merasa tersinggung saat itu. Kembali kutarik tanganku dan hanya sebuah kalimat singkat yang meluncur dari mulutku “hati-hati ya” ucapku tanpa melihat wajahnya. Dan dalam hati aku berujar “aku mau cuma dia yang jadi imam ku nanti”.
Hanya jaket hitam yang dikenakannya yang tak pernah hilang dari memoriku tentangnya. Bahkan hingga setahun setelah hari itu, aku tak pernah mengenali dia tiap kali kami bertemu.
***
Dan jika kamu tanya lagi jawabanku masih sama. Beberapa hari lalu, diatas deru motormu kamu lontarkan lagi tanya padaku “Tapi kamu cinta dia kan?”. Ini bukan perkara cinta jika kau tanya. Tapi ini tentang oleh siapa aku kelak ingin di imami dalam setiap sendi kehidupanku. Ya aku menginginkannya. Kau hanya terdiam. Aku tak mampu melihat ekspresi di wajahmu. Sejak hari itu hingga hari ini tak kuterima satu pun pesan darimu.
25 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar