Ini
bukan perkara cinta bila kamu tanya ‘Apa aku cinta dia’. Tapi ini tentang oleh
siapa aku kelak ingin di imami dalam setiap sendi kehidupanku. Ya aku
menginginkannya.
Teringat aku tentang
perjumpaanku dengannya kali pertama beberapa tahun lalu. Tepatnya tanggal
berapa aku tak mampu mengingatnya. Yang aku ingat dengan jelas, batapa aura
yang terpancar dibalik ketenangannya mampu menggugahku.
Dia biasa saja. Sangat
biasa. Bahkan mengingat tiap goresan pada wajah maupun dirinya aku tak mampu
saat itu. Aneh. Memang. Lalu jika kamu tanya kenapa aku ingin dia, aku tak
mampu menjawabnya. Tak pernah mampu. Karena tak ada alasan untuk itu.
Menurutku.
***
Hari itu, suasana tak sesepi
hatiku yang sedang risau karena satu kata ‘rindu’. Rindu padamu hingga jemariku
mampu menekan tombol-tombol hape untuk mengirim pesan singkat padamu. “Aku
kangen, pengen ketemu” kalimat yang tertulis di layar handphone ku. Tak berselang lama, kuterima jawaban darimu. Hanya
dalam hitungan menit dirimu sudah muncul didepan rumahku. “Ayuk” ajakmu saat
aku menyambutmu. Kita pun beranjak mencari tempat menumpahkan rindu untuk
sekedar berbincang dan bercerita panjang lebar. Itulah kegiatan rutin kita
beberapa tahun terakhir. Dan gedung serba guna universitas tujuan kita.
Entah angin apa yang mampu
membuatku mengabarkan cinta padamu, di sudut gedung yang selalu ramai oleh
pecandu judo itu. Lega bercampur was-was menguasai hatiku. Lega karena akhirnya
aku tahu kamu pun memiliki rasa yang sama denganku, meskipun aku sungguh tak
inginkan itu. Sungguh. Aku sendiri tak tau kenapa. Entah apa yang membuatku tak
pernah mengharapkanmu, meskipun aku tahu cintamu. Pun cintaku tak kusangsikan.
Menjelang siang, usai
bercengkerama dengan hati masing-masing, kita beranjak meninggalkan gedung usang
saksi perkembangan jaman itu. Kamu memacu motormu menbelah bisingnya jalanan
ibukota. Dinas pendidikan kota tempat yang kita tuju. Tempat yang hanya dikunjungi
oleh ‘aktivis pers mahasiswa’ kita menyebutnya.
Waktu beranjak meninggalkan
siapapun yang mencoba berdialog dengan damai, dan mengabaikan waktu. Sesaat aku
tertinggal dalam riuh rendah suasana diruangan yang cukup luas itu. Ruang aula
dinas pendidikan kota. Ruangan tanpa meja dan kursi yang mungkin sengaja
disingkirkan. Hanya dialasi dengan tikar tipis dan beberapa ambal yang sudah
usang. Namun ada yang berbeda. Tirai putih itu menyejukkanku disela kantuk yang
tak mungkin lekas tersalurkan. Kantuk memang kerap menyerangku tanpa kenal
tempat dan waktu.
Mataku tak dapat menangkap
mentari meskipun hanya bayangannya diruangan ini. Karena aku tak terfokus pada
keindahan alam. Yang aku tahu jarum jam ditanganku sudah menunjukkan waktu yang
tidak lagi siang.
Tiba-tiba dua raga yang tak
kukenal memasuki ruangan yang ku ‘keramat’ kan dari luar komunitas. Bukan
ruangannya yang keramat, tapi situasi didalamnya yang menurutku keramat. Kesal.
Marah. Dongkol. Tapi bisa apa aku? Toh sang pemegag kebijakan mengijinkan
mereka untuk ikut mendengarkan dialog kami. Dialog aku menyebutnya. Padahal
yang terjadi didalamnya lebih kisruh dari dialog mahasiswa.
Aku terus memaksakan otakku
untuk berpikir, karena aku sendiri tahu jika aku tidak berpikir maka bisa
dipastikan lelap akan menguasai aku. Berdiskusi, berdebat, dan saling adu argumen
sudah jadi kegiatan rutinku selama empat tahun ini. Indah, meskipun melelahkan.
Waktu beranjak petang, kegiatan tak dihentikan, hanya rehat sesaat untuk melakukan
ibadah solat magrib dan makan malam yang kami lakukan.
Disemua aktifitas yang
kulakukan diruangan yang sama dengan kedua orang tersebut tak sekalipun aku
mempedulikan mereka. Mereka seperti maya yang tak pernah ada disekitarku. Biarlah.
Tak ramah sudah menjadi julukanku sebelum aku masuk ke komunitas ini. Jadi
bukan masalah serius jika aku kembali menyandang gelar itu saat ini.
Diskusi terus berlanjut
hingga subuh hampir datang. Tepat jarum di jam tanganku menunjukkan 04.20,
sidang ditutup sementara untuk istirahat. Percuma. Memang. Tak apalah untuk
sekedar men charge daya tahan yang
perlahan mulai terasa goyang.
Belum lima menit aku
membaringkan badanku yang rasanya seperti ditimpa ribuan ton beban diatas
titian batu, tiba-tiba adzan subuh berkumandang. Shitt. Bukan maksud mengumpat. Tapi hanya ungkapan kekesalan yang
terlontar secara reflex dari mulutku.
Aku pun berjuang melawan lelah dan bangkit dari posisi rebah. Bersama seorang
teman yang luar biasa ramahnya, aku menuju ruangan lain di ujung lorong untuk
menunaikan solat subuh.
Damn.
Belum langkah kami genap sepuluh langkah, sebuah suara menyeruak mengajukan
tanya. “Solatnya dimana ya? Air di mushola ga ngalir”. Kekesalanku memuncak
pada dua pria yang tak punya toleransi ini. Seharusnya mereka tahu kalau kami
sama sekali belum memejamkan mata lama sebelum mereka datang. Tanpa
mempedulikan mereka aku ngeloyor meninggalkan
mereka. Ga sopan. Biarlah mereka menganggapku ga sopan. Siapa yang berpikir aku
peduli dengan kesopanan pagi itu.
Untung besar untuk meraka,
aku bersama teman yang memiliki kesabaran dan kadar kesopanan diatas rata-rata.
Ima pun menjawab tanya itu dengan manisnya. “Ya udah, kita solat di masjid aja.
Deket kok. Yuk, ikut aja.” katanya kemudian.
Masjid memang tak jauh dari
tempat kegiatan kami, tapi cukup melelahkan untuk orang yang memang sudah lelah
badan sepertiku. Sesampainya di masjid, kubasuh wajahnku dengan dinginnya air
yang mengalir dari mulut-mulut keran. Sensasi segar dan dinginnya air
menghilangkan kantuk dimataku. Aku tau sensasi itu hanya akan bertahan hingga
solat selesai kulaksanakan. Setelahnya entahlah.
Usai solat masjid sudah
cukup ramai ternyata. Air yang tidak mengalir di tempat kegiatan kami berdampak
pada antrian yang berjajar rapi didepan pintu kamar mandi masjid. Aku tersenyum
melihat kelucuan itu. Mereka kurang cerdas pikirku.
Matahari belum tinggi saat
aku kembali dari masjid. Tapi sudah cukup terlambat jika ingin melaksanakan
solat subuh. Alunan lagu yang cukup keras tak mampu menyingkirkan setan-setan
yang bergelayut manja di mata teman-temanku yang masih terpejam. Satu persatu dari
mereka kuguncang badannya. Mengingatkan bahwa waktu subuh enggan untuk
menunggu. Sedikit bergeliat, ada yang langsung terjaga dan beranjak dari
posisinya yang berbaring. Ada pula yang bergeliat dengan mengucapkan kata
“Ngantuk si”. Tak sedikit yang bergegas berdiri dan mencari tempat baru untuk
berbaring yang aman dari gangguanku. Ada-ada saja.
Setelah semua terbangun
dengan paksa, tiba giliranku untuk berbaring dan menunggu datangnya waktu untuk
sarapan. Lapar. Pastinya. Aku memang terbiasa makan dipagi hari. Jika tidak
maka perutku akan berdendang dengan irama yang luar biasa merdunya. Belum lagi
mataku terpejam, weni menghampiriku. Weni adalah gadis yang tak pernah absen
menemaniku selama aku bergiat di komunitas ini. Dia seperti aku dalam tubuh
yang lain, karena dia tahu semua yang kurasakan. Senang, sedih, bahkan marah
selalu kubagi dengannya. “Mandi yuk” ucapnya dengan lirih. Tak dapat kutolak.
Terbayang mandi nyaman dirumah weni yang tak jauh dari lokasi, dan diselingi
dengan pejam sejenak untuk relaksasi otak. Tawaran yang menarik pikirku.
Tanpa pamit kepada panitia
acara kami pun menaiki motor dengan plat bandung tersebut milik weni. Kurang
dari lima belas menit kami sudah berada didalam rumah weni. Kebodohan kesekian
kalinya yang kulakukan. Aku tidak membawa baju ganti. Alhasil, usai kubersihkan
diriku, akupun mengenakan baju weni yang katanya paling kecil. Celana training dan kaos abu-abu jadi seragamku
pagi itu sambil tiduran menunggu weni usai membersihkan dirinya. Bukan seragam
olah raga yang cantik, karena training
itu harus disemat dengan peniti agar sesuai dengan pinggangku. Pun baju yang
kukenakan, semakin menampakkan tulang leherku yang memang sudah menonjol.
Kebesaran lebih tepat tampaknya.
Tertidur. Hingga dering handphone weni membuyarkan mimpi kami.
Aku sengaja tidak membawa handphone milikku,
karena alat komunikasi yang satu itu akan menggangguku di saat-saat paling
tidak diinginkan. Dan pendapatku benar.
Masih dengan mata yang
terasa pedih, weni menurunkan motor dari muka rumahnya menuju jalanan yang ada
sekitar limapuluh derajat di bawah rumah. Perlu konsentrasi dan kekuatan ekstra
untuk melakukannya. Dan weni punya keduanya, walaupun dalam kondisi yang
mengenaskan. Mengenaskan karena kantuk yang menyerang pastinya.
Cepat. Dan lebih cepat dari
saat kami meninggalkan tempat rapat, kami akhirnya sampai di ruangan bertirai
putih itu lagi. Peserta sudah melingkar dengan rapi diruangan itu. Tak
terkecuali dua tamu asing kami. Aku dan weni pun terpisah dan menyusup diantara
mereka dalam lingkaran. Dialog dilanjutkan hingga menjelang siang. Tepatnya
pukul berapa aku tak tau, yang jelas sekitar jam sepuluh saat kutengok pintu
aula semakin ramai dengan beberapa kawan mengitari dua tamu kami. Entah kenapa,
yang aku sendiri pun tak tahu tiba-tiba aku ambil bagian dalam kumpulan itu. Segera
aku berdiri dan keluar dari lingkaran, menuju pintu aula untuk turut serta
melepas dua tamu yang asing bagiku itu.
Berjalan cepat menuju
mereka. Sesampainya di depan pintu, kuulurkan tanganku tanda perpisahan pada
mereka. Seorang menerima uluran tanganku dan menjabat tnganku. Berbeda dengan
rekannya, yang seorang lagi justru mengangkat tangannya dengan kedua telapak bertemu
di depan dadanya. Terkesiap. Anehnya aku tidak merasa tersinggung saat itu. Kembali
kutarik tanganku dan hanya sebuah kalimat singkat yang meluncur dari mulutku
“hati-hati ya” ucapku tanpa melihat wajahnya. Dan dalam hati aku berujar “aku
mau cuma dia yang jadi imam ku nanti”.
Hanya jaket hitam yang
dikenakannya yang tak pernah hilang dari memoriku tentangnya. Bahkan hingga
setahun setelah hari itu, aku tak pernah mengenali dia tiap kali kami bertemu.
***
Dan jika kamu tanya lagi jawabanku
masih sama. Beberapa hari lalu, diatas deru motormu kamu lontarkan lagi tanya
padaku “Tapi kamu cinta dia kan?”. Ini bukan perkara cinta jika kau tanya. Tapi
ini tentang oleh siapa aku kelak ingin di imami dalam setiap sendi kehidupanku.
Ya aku menginginkannya. Kau hanya terdiam. Aku tak mampu melihat ekspresi di
wajahmu. Sejak hari itu hingga hari ini tak kuterima satu pun pesan darimu.
25 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar